WAYANG memang sudah menjadi ciri khas budaya dari Indonesia,
khususnya untuk wilayah pulau Jawa termasuk Jawa Barat. Jenis wayang yang
terkenal dari pulau Jawa bagian barat ialah Wayang Golek. Bagi masyarakat Sunda
sendiri, wayang golek sudah menjadi hiburan yang merakyat, mulai dari kalangan
bawah sampai kalangan atas. Wayang golek sendiri mempunyai banyak tokoh, tetapi
yang paling terkenal dan paling diingat oleh masyarakat ialah Si Cepot. Ia
adalah sosok wayang yang penuh selera humor dan sudah menjadi ikon dari wayang
golek. Sampai-sampai ada yang bilang, “Bukan orang Sunda namanya jika belum
mengenal Si Cepot”. Seistimewa apakah sosok Si Cepot ini sehingga menjadi ikon
dari wayang yang berasal dari Tanah Sunda?
Si Cepot atau yang dalam pewayangan mempunyai nama Astrajingga
merupakan salah satu tokoh yang terdapat dalam dunia pewayangan, khususnya
dalam kesenian wayang golek. Dia ini mempunyai wajah yang merah dengan gigi
bawahhnya yang besar dan menonjol ke atas. Warna wajahnya yang merah
ditafsirkan kitab wayang sebagai cerminan karakter yang buruk. Si Cepot ini
mempunyai ciri khas suka ngabodor (bercanda). Cepot merupakan
anak pertama dari tiga bersaudara yang terlahir dari pasangan Semar Badranaya
dan Sutiragen. Dia mempunyai dua adik, yakni Dawala yang berhidung panjang dan
Gareng yang berhidung bulat.
Nama Astrajingga sendiri berasal dari dua kata, yakni sastra yang
berati tulisan dan jingga yang berarti merah yang melambangkan kelakuan yang
buruk. Jadi Astrajingga merupakan cerminan karakter yang berkelakuan buruk
seperti nilai rapor yang memiliki nilai merah. Tapi uniknya, meskipun Si Cepot
sangat konyol dan selalu membuat jengkel, kehadirannya dalam suatu pertunjukan
wayang malah selalu dinantikan. Karena kelucuan Si Cepot berdasarkan pada
norma-norma, nilai-nilai, dan sikap hidup, sehingga kelucuannya mampu diterima
oleh semua kalangan. Humornya juga sering menyentuh kehidupan sehari-hari. Dia
merupakan tokoh yang sangat setia, kemanapun ayahnya pergi dia selalu
menemaninya. Bahkan dia sangat setia pada negaranya, kesetiaannya ditunjukan
saat bertarung mati-matian dengan buta hijau, antek kurawa demi membela
negaranya.
Karena wataknya yang suka bercanda, banyak orang yang menyukai
tokoh ini dan membuat Si Cepot menjadi terkenal. Dia ini tak pandang bulu dalam
bercanda, Siapa saja bisa menjadi bahan candaannya, mulai dari para ksatria
maha sakti, raja, sampai para dewa di langit. Tetapi dibalik humornya, Si Cepot
ini selalu memberi nasihat dan petuah, tak jarang ia juga memberi kritikan pada
pemerintah. Perilaku dan ucapannya selalu mengajarkan kita untuk bergotong
royong, setia, selau ceria, dan membela kebenaran. Oleh karena itu, dalang
biasanya menggunakan Si Cepot untuk menyampaikan pesan-pesan seperti kritik
maupun petuah dengan sindiran yang disampaikan sambil guyon, agar bisa diterima
oleh banyak orang.
Si Cepot beserta ayahnya dan kedua adiknya ini termasuk ke dalam
tokoh wayang Punakawan, yakni tokoh abdi yang bertugas menasihati atau memberi
petuah bijak bagi para Pandawa. Dalam suatu pertunjukan wayang golek, para
tokoh ini biasanya ditampilkan pada bagian tengah cerita, ini dimaksudkan untuk
membuat penonton lebih rileks dan bisa tertawa saat cerita mulai serius dan
tegang.
Dalam cerita pewayangan Si Cepot ini biasanya menemani para
ksatria, terutama Arjuna dan Madukara. Dia juga bisa bertempur seperti ksatria,
senjata andalannya dalam berperang berupa Bedog (Golok).
Memang sangat unik wayang yang satu ini. Banyak hal yang patut
dicontoh darinya. Di balik pribadi Cepot yang lucu dan suka membuat geger
politik dengan tingkah laku yang nyeleneh, dia juga selalu punya pesan moral
yang begitu bagus. Cepot merupakan cerminan rakyat jelata yang mempunyai sikap
santai, setia, humoris, namun juga berani membela kebenaran.
Konon pertunjukan wayang bermula dari kesadaran manusia bahwa
dirinya memiliki bayangan sebagai anugerah dari Tuhan. Maka, pertunjukan ini
digunakan untuk menyertai aneka macam aktus yang berdimensi magis-religius.
Dengan pelbagai kreasi, pergelaran wayang lambat laun bertransformasi sehingga
melahirkan aneka seni pertunjukan sesuai dengan kekhasan daerah.
Di Tatar Sunda, umpamanya, kita pasti akrab dengan seni pertunjukan wayang golek, wayang wong Cirebon atau Priangan, wayang catur, wayang cepak, dan sebagainya. Dari yang tradisional sampai kontemporer, seni pertunjukan wayang golek serasa mengutak-atik perasaan untuk terus begadang menikmati kejenakaan panakawan, seperti Cepot, Dewala, Udel (Gareng), dan Semar.
Di Tatar Sunda, umpamanya, kita pasti akrab dengan seni pertunjukan wayang golek, wayang wong Cirebon atau Priangan, wayang catur, wayang cepak, dan sebagainya. Dari yang tradisional sampai kontemporer, seni pertunjukan wayang golek serasa mengutak-atik perasaan untuk terus begadang menikmati kejenakaan panakawan, seperti Cepot, Dewala, Udel (Gareng), dan Semar.
Karena intensitas pertunjukan seni wayang agak berkurang, televisi
menjadi medium untuk mengobati kerinduan saya pada seni budaya hibrid (antara
Jawa dan Sunda) ini. Malam Minggu nanti saya akan memelototi televisi karena
ada acara bertajuk Ngedate Sareng Cepot. Bahkan, pada bulan puasa ada acara
Asep Show yang memadukan unsur modernitas di satu sisi dan tradisionalitas di
sisi lain. Maka, “glokalisme” adalah istilah tepat untuk memasukkan gaya
ngadalang Asep Sunandar Sunarya. Ia tidak harus terpaku pada pakem ketika
menggelar pertunjukan wayang golek.
Kepiawaian dan keberaniannya mendobrak -lebih tepatnya
merekonstruksi- pakem atau aturan pewayangan tradisional patut kita acungi
jempol. Dengan memasukkan nilai-nilai modernitas, ia (melalui Giri Harja)
berupaya mengkreasi alur cerita, setting, dan jenis wayang kayu sembari
menyertakan manusia ketika pertunjukan berlangsung di televisi. Ini
mengindikasikan bahwa wayang golek Sunda tidak antiperubahan. Seni pertunjukan
ini terus menyesuaikan dengan perkembangan zaman agar tetap dicintai warganya.
Maka, ungkapan miindung ka waktu, mibapa ka zaman adalah
justifikasi yang tidak mengada-ada untuk menyebut epistemologi praksis gaya
ngadalang Asep Sunandar Sunarya.
Kenapa harus Cepot?
LANTAS, mengapa dalam seni pertunjukan wayang golek Sunda tokoh
yang lebih populer di telinga saya dan mungkin Anda berasal dari kalangan
panakawan, seperti Astrajingga atau Cepot? Ada apa dengan Cepot? Unikkah
pribadi si Cepot sehingga masyarakat Sunda dan non-Sunda banyak menyukainya?
Padahal, wayang purwa sebagai nenek moyangnya diambil dari epos Mahabaratha dan
Ramayana. Seharusnya yang lebih populer adalah tokoh dari kalangan ksatria dan
raja.
Akan tetapi, hal itu tidak terjadi dalam pergelaran wayang golek
Sunda. Si Cepot dan panakawan lainnya masih menjadi primadona dalam setiap
pertunjukan. Tak percaya? Coba bayangkan jika cerita teater boneka kayu (puppet
theatre) ini tidak menghadirkan mereka, pasti tidak nikmat ditonton. Maka, tak
berlebihan jika pergelaran wayang golek penting diguar, terutama tokoh
pewayangan khas urang Sunda, yakni si Cepot atau Astrajingga-ada yang
menyebutnya Sastrajingga.
Saya pikir keunikan dan kekhasan pribadi si Cepot bisa dilihat dari
kata-kata dan tingkah polahnya yang humoris dan memuat nilai-nilai filsafat
hidup, semacam world view yang dipegang warga Sunda. Menurut pendapat Ajip
Rosidi (1984), si Cepot memiliki watak khas, yakni sering menyatakan sanggup,
sombong, mau menang sendiri, cunihin, culametan, tetapi ia berani membela
kebenaran, setia, dan banyak akal.
Karakter kepribadiannya yang lain ialah humoris dan sering
merelatifkan kehidupan dunia. Karena itu, si Cepot tertancap kuat dalam ingatan
kolektif urang Sunda sehingga mengalahkan popularitas Arjuna dan Gatotkaca. Ia
bisa membawa penikmat pertunjukan wayang golek merehatkan kepenatan hidup
dengan lawakan-lawakannya. Sesuai dengan bahasa agama, kehidupan duniawi adalah
permainan (laibun) dan bahan tertawaan (lahwun).
Ketika si Cepot tidak tampil dalam pergelaran wayang golek,
pertunjukan akan terasa hambar dan serasa tidak komplit bagai sayur tanpa
garam. Tak mengherankan jika si Cepot menjadi tokoh favorit pelbagai kalangan.
Tua-muda, kaya-miskin, pejabat-rakyat menyenangi sepak terjang urang Sunda di
kehidupan yang dihadirkan secara representatif oleh si Cepot.
Menafsir Pribadi
MENAFSIR pribadi si Cepot guna menciptakan kekuatan bangsa, yang
penting dimiliki di zaman kenihilan etika-moral ini, adalah keniscayaan,
apalagi dengan kondisi sosial ekonomi yang karut-marut, meranggasnya perilaku
jahat dan korup, serta membiaknya ketidakpedulian masyarakat modern pada orang
miskin. Boleh jadi si Cepot adalah obat mujarab untuk mengobati perilaku
patologis pejabat secara cerdas, asyik, dan menggelitik. Sebab, irama suara
sumbang rakyat jarang didengar dan bahkan sering kali ditertawakan pejabat,
bukan malah ditanggulangi dan diselesaikan.
Si Cepot ialah representasi rakyat jelata yang kebetulan dekat
dengan raja dan ksatria, putra cikal (pertama) Ki Semar yang bertugas memberi
bantuan kepada kaum elite pewayangan guna menghadapi pelbagai persoalan yang
mengimpit Astinapura. Bukti kesetiaan si Cepot pada negaranya bisa dilihat dari
pertarungan mati-matian dengan buta hejo, antek Kurawa.
Secara kontekstual Kurawa bisa diartikan sebagai negara adidaya
Amerika Serikat yang kerap melakukan intervensi dan mengganggu stabilitas
nasional. Uniknya lagi, untuk konteks kekinian, yang banyak melakukan
resistensi adalah kalangan rakyat. Para pejabat, entah karena ada kepentingan,
diam seribu bahasa ketika pelbagai kebutuhan rakyat harus diimpor dari negara
tetangga kendati media pemenuh kebutuhan itu tersedia di negeri sendiri.
Di dalam pertunjukan wayang golek Sunda, antara raja, ksatria, dan
rakyat jelata (panakawan) bersatu melawan rongrongan kaum elite Kurawa.
Sementara di negara kita, antara rakyat dan pejabat tidak ada kesejalanan visi
dan misi, yang berakibat pada munculnya ketidakpercayaan. Demokrasi juga tidak
meruang dan mewaktu di negeri ini. Tentunya ini berbeda dengan cerita di alam
pewayangan.
Semoga saja wayang golek, sebagai representasi dari perlawanan
lokal masyarakat Sunda terhadap nilai-nilai yang meminggirkan jati diri bangsa,
dapat difungsikan sebagai medium pembentuk karakter bangsa. Alhasil, bangsa ini
dan khususnya warga di Jawa Barat mampu menentukan arah perjalanannya pada masa
mendatang. Untuk sekadar proses penyadaran kolektif, mungkin perlu ada acara
“debat terbuka” antara pejabat dan si Cepot.
http://mangyono.blogspot.com/2013/05/wayang-golek-tokoh-cepot.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar