Jumat, 14 Maret 2014

Tokoh Wayang si Cepot

WAYANG memang sudah menjadi ciri khas budaya dari Indonesia, khususnya untuk wilayah pulau Jawa termasuk Jawa Barat. Jenis wayang yang terkenal dari pulau Jawa bagian barat ialah Wayang Golek. Bagi masyarakat Sunda sendiri, wayang golek sudah menjadi hiburan yang merakyat, mulai dari kalangan bawah sampai kalangan atas. Wayang golek sendiri mempunyai banyak tokoh, tetapi yang paling terkenal dan paling diingat oleh masyarakat ialah Si Cepot. Ia adalah sosok wayang yang penuh selera humor dan sudah menjadi ikon dari wayang golek. Sampai-sampai ada yang bilang, “Bukan orang Sunda namanya jika belum mengenal Si Cepot”. Seistimewa apakah sosok Si Cepot ini sehingga menjadi ikon dari wayang yang berasal dari Tanah Sunda?
Si Cepot atau yang dalam pewayangan mempunyai nama Astrajingga merupakan salah satu tokoh yang terdapat dalam dunia pewayangan, khususnya dalam kesenian wayang golek. Dia ini mempunyai wajah yang merah dengan gigi bawahhnya yang besar dan menonjol ke atas. Warna wajahnya yang merah ditafsirkan kitab wayang sebagai cerminan karakter yang buruk. Si Cepot ini mempunyai ciri khas suka ngabodor (bercanda). Cepot merupakan anak pertama dari tiga bersaudara yang terlahir dari pasangan Semar Badranaya dan Sutiragen. Dia mempunyai dua adik, yakni Dawala yang berhidung panjang dan Gareng yang berhidung bulat.
Nama Astrajingga sendiri berasal dari dua kata, yakni sastra yang berati tulisan dan jingga yang berarti merah yang melambangkan kelakuan yang buruk. Jadi Astrajingga merupakan cerminan karakter yang berkelakuan buruk seperti nilai rapor yang memiliki nilai merah. Tapi uniknya, meskipun Si Cepot sangat konyol dan selalu membuat jengkel, kehadirannya dalam suatu pertunjukan wayang malah selalu dinantikan. Karena kelucuan Si Cepot berdasarkan pada norma-norma, nilai-nilai, dan sikap hidup, sehingga kelucuannya mampu diterima oleh semua kalangan. Humornya juga sering menyentuh kehidupan sehari-hari. Dia merupakan tokoh yang sangat setia, kemanapun ayahnya pergi dia selalu menemaninya. Bahkan dia sangat setia pada negaranya, kesetiaannya ditunjukan saat bertarung mati-matian dengan buta hijau, antek kurawa demi membela negaranya.
Karena wataknya yang suka bercanda, banyak orang yang menyukai tokoh ini dan membuat Si Cepot menjadi terkenal. Dia ini tak pandang bulu dalam bercanda, Siapa saja bisa menjadi bahan candaannya, mulai dari para ksatria maha sakti, raja, sampai para dewa di langit. Tetapi dibalik humornya, Si Cepot ini selalu memberi nasihat dan petuah, tak jarang ia juga memberi kritikan pada pemerintah. Perilaku dan ucapannya selalu mengajarkan kita untuk bergotong royong, setia, selau ceria, dan membela kebenaran. Oleh karena itu, dalang biasanya menggunakan Si Cepot untuk menyampaikan pesan-pesan seperti kritik maupun petuah dengan sindiran yang disampaikan sambil guyon, agar bisa diterima oleh banyak orang.
Si Cepot beserta ayahnya dan kedua adiknya ini termasuk ke dalam tokoh wayang Punakawan, yakni tokoh abdi yang bertugas menasihati atau memberi petuah bijak bagi para Pandawa. Dalam suatu pertunjukan wayang golek, para tokoh ini biasanya ditampilkan pada bagian tengah cerita, ini dimaksudkan untuk membuat penonton lebih rileks dan bisa tertawa saat cerita mulai serius dan tegang.
Dalam cerita pewayangan Si Cepot ini biasanya menemani para ksatria, terutama Arjuna dan Madukara. Dia juga bisa bertempur seperti ksatria, senjata andalannya dalam berperang berupa Bedog (Golok).
Memang sangat unik wayang yang satu ini. Banyak hal yang patut dicontoh darinya. Di balik pribadi Cepot yang lucu dan suka membuat geger politik dengan tingkah laku yang nyeleneh, dia juga selalu punya pesan moral yang begitu bagus. Cepot merupakan cerminan rakyat jelata yang mempunyai sikap santai, setia, humoris, namun juga berani membela kebenaran.
Konon pertunjukan wayang bermula dari kesadaran manusia bahwa dirinya memiliki bayangan sebagai anugerah dari Tuhan. Maka, pertunjukan ini digunakan untuk menyertai aneka macam aktus yang berdimensi magis-religius. Dengan pelbagai kreasi, pergelaran wayang lambat laun bertransformasi sehingga melahirkan aneka seni pertunjukan sesuai dengan kekhasan daerah.

Di Tatar Sunda, umpamanya, kita pasti akrab dengan seni pertunjukan wayang golek, wayang wong Cirebon atau Priangan, wayang catur, wayang cepak, dan sebagainya. Dari yang tradisional sampai kontemporer, seni pertunjukan wayang golek serasa mengutak-atik perasaan untuk terus begadang menikmati kejenakaan panakawan, seperti Cepot, Dewala, Udel (Gareng), dan Semar.
Karena intensitas pertunjukan seni wayang agak berkurang, televisi menjadi medium untuk mengobati kerinduan saya pada seni budaya hibrid (antara Jawa dan Sunda) ini. Malam Minggu nanti saya akan memelototi televisi karena ada acara bertajuk Ngedate Sareng Cepot. Bahkan, pada bulan puasa ada acara Asep Show yang memadukan unsur modernitas di satu sisi dan tradisionalitas di sisi lain. Maka, “glokalisme” adalah istilah tepat untuk memasukkan gaya ngadalang Asep Sunandar Sunarya. Ia tidak harus terpaku pada pakem ketika menggelar pertunjukan wayang golek.
Kepiawaian dan keberaniannya mendobrak -lebih tepatnya merekonstruksi- pakem atau aturan pewayangan tradisional patut kita acungi jempol. Dengan memasukkan nilai-nilai modernitas, ia (melalui Giri Harja) berupaya mengkreasi alur cerita, setting, dan jenis wayang kayu sembari menyertakan manusia ketika pertunjukan berlangsung di televisi. Ini mengindikasikan bahwa wayang golek Sunda tidak antiperubahan. Seni pertunjukan ini terus menyesuaikan dengan perkembangan zaman agar tetap dicintai warganya.
Maka, ungkapan miindung ka waktu, mibapa ka zaman adalah justifikasi yang tidak mengada-ada untuk menyebut epistemologi praksis gaya ngadalang Asep Sunandar Sunarya.
Kenapa harus Cepot?
LANTAS, mengapa dalam seni pertunjukan wayang golek Sunda tokoh yang lebih populer di telinga saya dan mungkin Anda berasal dari kalangan panakawan, seperti Astrajingga atau Cepot? Ada apa dengan Cepot? Unikkah pribadi si Cepot sehingga masyarakat Sunda dan non-Sunda banyak menyukainya? Padahal, wayang purwa sebagai nenek moyangnya diambil dari epos Mahabaratha dan Ramayana. Seharusnya yang lebih populer adalah tokoh dari kalangan ksatria dan raja.
Akan tetapi, hal itu tidak terjadi dalam pergelaran wayang golek Sunda. Si Cepot dan panakawan lainnya masih menjadi primadona dalam setiap pertunjukan. Tak percaya? Coba bayangkan jika cerita teater boneka kayu (puppet theatre) ini tidak menghadirkan mereka, pasti tidak nikmat ditonton. Maka, tak berlebihan jika pergelaran wayang golek penting diguar, terutama tokoh pewayangan khas urang Sunda, yakni si Cepot atau Astrajingga-ada yang menyebutnya Sastrajingga.
Saya pikir keunikan dan kekhasan pribadi si Cepot bisa dilihat dari kata-kata dan tingkah polahnya yang humoris dan memuat nilai-nilai filsafat hidup, semacam world view yang dipegang warga Sunda. Menurut pendapat Ajip Rosidi (1984), si Cepot memiliki watak khas, yakni sering menyatakan sanggup, sombong, mau menang sendiri, cunihin, culametan, tetapi ia berani membela kebenaran, setia, dan banyak akal.
Karakter kepribadiannya yang lain ialah humoris dan sering merelatifkan kehidupan dunia. Karena itu, si Cepot tertancap kuat dalam ingatan kolektif urang Sunda sehingga mengalahkan popularitas Arjuna dan Gatotkaca. Ia bisa membawa penikmat pertunjukan wayang golek merehatkan kepenatan hidup dengan lawakan-lawakannya. Sesuai dengan bahasa agama, kehidupan duniawi adalah permainan (laibun) dan bahan tertawaan (lahwun).
Ketika si Cepot tidak tampil dalam pergelaran wayang golek, pertunjukan akan terasa hambar dan serasa tidak komplit bagai sayur tanpa garam. Tak mengherankan jika si Cepot menjadi tokoh favorit pelbagai kalangan. Tua-muda, kaya-miskin, pejabat-rakyat menyenangi sepak terjang urang Sunda di kehidupan yang dihadirkan secara representatif oleh si Cepot.
Menafsir Pribadi
MENAFSIR pribadi si Cepot guna menciptakan kekuatan bangsa, yang penting dimiliki di zaman kenihilan etika-moral ini, adalah keniscayaan, apalagi dengan kondisi sosial ekonomi yang karut-marut, meranggasnya perilaku jahat dan korup, serta membiaknya ketidakpedulian masyarakat modern pada orang miskin. Boleh jadi si Cepot adalah obat mujarab untuk mengobati perilaku patologis pejabat secara cerdas, asyik, dan menggelitik. Sebab, irama suara sumbang rakyat jarang didengar dan bahkan sering kali ditertawakan pejabat, bukan malah ditanggulangi dan diselesaikan.
Si Cepot ialah representasi rakyat jelata yang kebetulan dekat dengan raja dan ksatria, putra cikal (pertama) Ki Semar yang bertugas memberi bantuan kepada kaum elite pewayangan guna menghadapi pelbagai persoalan yang mengimpit Astinapura. Bukti kesetiaan si Cepot pada negaranya bisa dilihat dari pertarungan mati-matian dengan buta hejo, antek Kurawa.
Secara kontekstual Kurawa bisa diartikan sebagai negara adidaya Amerika Serikat yang kerap melakukan intervensi dan mengganggu stabilitas nasional. Uniknya lagi, untuk konteks kekinian, yang banyak melakukan resistensi adalah kalangan rakyat. Para pejabat, entah karena ada kepentingan, diam seribu bahasa ketika pelbagai kebutuhan rakyat harus diimpor dari negara tetangga kendati media pemenuh kebutuhan itu tersedia di negeri sendiri.
Di dalam pertunjukan wayang golek Sunda, antara raja, ksatria, dan rakyat jelata (panakawan) bersatu melawan rongrongan kaum elite Kurawa. Sementara di negara kita, antara rakyat dan pejabat tidak ada kesejalanan visi dan misi, yang berakibat pada munculnya ketidakpercayaan. Demokrasi juga tidak meruang dan mewaktu di negeri ini. Tentunya ini berbeda dengan cerita di alam pewayangan.
Semoga saja wayang golek, sebagai representasi dari perlawanan lokal masyarakat Sunda terhadap nilai-nilai yang meminggirkan jati diri bangsa, dapat difungsikan sebagai medium pembentuk karakter bangsa. Alhasil, bangsa ini dan khususnya warga di Jawa Barat mampu menentukan arah perjalanannya pada masa mendatang. Untuk sekadar proses penyadaran kolektif, mungkin perlu ada acara “debat terbuka” antara pejabat dan si Cepot.

http://mangyono.blogspot.com/2013/05/wayang-golek-tokoh-cepot.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar